Dosen Tercinta
M. Ista’Addi Wisudawan
Setiap orang adalah guru dan setiap tempat adalah sekolah. Kalimat diatas tercetus dari bibir seorang Ki Hajar Dewantara yang begitu dihormati dan dihargai dalam dunia pendidikan kita di Indonesia. Nampaknya pendidikan dari dulu hingga sekarang merupakan faktor penting dalam membangun karakter sebuah bangsa.
M. Ista’Addi Wisudawan
Setiap orang adalah guru dan setiap tempat adalah sekolah. Kalimat diatas tercetus dari bibir seorang Ki Hajar Dewantara yang begitu dihormati dan dihargai dalam dunia pendidikan kita di Indonesia. Nampaknya pendidikan dari dulu hingga sekarang merupakan faktor penting dalam membangun karakter sebuah bangsa.
Beberapa sekolah maupun perguruan tinggi yang ada di Indonesia tampak mendampingi bangsa ini dalam melaksanakan suatu progressifitas dalam pembangunan bangsa ini melalui sumbangsih pemikiran-pemikiran serta alumni yang dapat kita katakan merupakan kader masa depan dari sebuah bangsa. Menurut lembaran sejarah pendidikan di indonesia, terdapat beberapa perguruan tinggi yang muncul pasca kemerdekaan dan UII salah satu didalamnya. Beberapa kalangan menilai bahwa UII telah menelurkan beberapa kader bangsa yang dapat membawa bangsa ini kepada tangga perubahan dan pembaharuan. Hal tersebut tercipta dikarenakan kualitas alumni yang ditelorkannya serta tidak terlepas dari peran tenaga pengajar yang ada di UII pada saat itu. Para tenaga pengajar inilah yang merupakan suatu faktor penting dalam mencetak putra-putra bangsa yang progressif.
Di Fakultas Hukum UII ini sendiri telah menetaskan beberapa tokoh yang dapat kita katakan memiliki peranan penting dalam menjaga tatanan keseimbangan serta memiliki sumbangsih dalam pelaksanaan pembangunan kemajuan di Indonesia. Kita memang dapat sedikit bangga akan hal tersebut. Akan tetapi sangat ironis sekali jika kita kemudian berkaca dan melihat kedalam tubuh kita sendiri, ketika ternyata terdapat beberapa permasalahan didalam tubuh kita sendiri. Disatu sisi kita almamater kita memang memiliki beberapa posisi penting dalam penjalanan pelaksanaan pembangunan negara, akan tetapi disisi lain kita memiliki persoalan yang serius diinternal kita khususnya pada tenaga pengajar. Seperti kita bicarakan diatas, salah satu faktor yang dapat mendorong almamater mencetak kader-kader bangsa yang progressif adalah tenaga pengajar.
Beberapa persoalan terkait dengan tenaga pengajar tersebut adalah:
Pertama, minimnya tenaga pengajar pada beberapa mata kuliah tertentu, dimana mata kuliah tersebut merupakan mata kuliah wajib tempuh dan merupakan prasarat mata kuliah lain. Hal ini dapat berdampak pada penumpukan serta meledaknya kuota mata kuliah tersebut. Beberapa mahasiswa yang ”beruntung” dalam key-in memang dapat menempuh mata kuliah tersebut, akan tetapi banyak pula yang harus menunggu semester depan atau bahkan semester depanya lagi sehingga terjadi suatu penumpukan yang terakumulasi. Hal ini tentu saja merugikan mahasiswa, dimana kewajiban serta haknya kurang dapat terakomodir. Harapannya masalah ini dapat teratasi, baik dari segi mekanisme key-innya sendiri maupun dari segi tenaga pengajarnya sendiri dengan munculnya tenaga-tenaga pengajar baru pada beberapa mata kuliah wajib tersebut, sehingga penumpukan kuota dapat teratasi.
Kedua, terdapat beberapa tenaga pengajar yang telah ”uzur” atau ada beberapa tenaga pengajar yang dapat kita katakan sudah tidak layak lagi untuk melakukan kegiatan belajar mengajar. Pada satu sisi memang tenaga pengajar tersebut secara keilmuan memang menguasai mata kuliah yang diampu bahkan dapat dikatakan beliau adalah pakar dari ilmu yang beliau miliki, akan tetapi kita juga tidak dapat menafikan beberapa permasalahan, yang salah satunya adalah permasalahan fisik yang beliau miliki sehingga dari permasalahan tersebut mengakibatkan transformasi ilmu tidak berjalan secara maksimal. Lagi-lagi hal ini dapat merugikan mahasiswa, karena pada dasarnya yang dibutuhkan oleh mahasiswa adalah adanya transformasi dari ilmu tersebut, kita rasa akan terbuang sia-sia ketika seseorang memiliki tingkat keilmuan yang tinggi akan tetapi ia tidak dapat mentrasfer apa yang ia kuasai kepada orang lain, padahal hal tersebut merupakan kewajiban ia sebagai tenaga pengajar. Harapan kita adalah muncul suatu ketegasan sikap dari fakultas sendiri mengenai kelayakan tenaga pengajar ini, dapat diartikan didalamnya diatur pula mengenai batasan-batasan mengenai umur dan batasan kelayakan yang lain. Disamping hal tersebut, diharapkan pula munculnya tenaga-tenaga pengajar yang memiliki kompetensi pada bidangnya dan memiliki metode transformasi yang dapat mudah diserap oleh mahasiswa.
Ketiga, ”hilangnya” beberapa tenga pengajar yang memilki kompetensi tinggi pada bidangnya dikarenakan tugas atau jabatan diluar akademis. Hal ini sebenarnya sangat vital, karena setiap tenaga pengajar yang memiliki jabatan diluar posisinya sebagai tenaga pengajar, akan dibenturkan pada beberapa tanggung jawab yang ia miliki. Berangkat dari hal tersebut, maka munculah stigma negatif yang berkembang mengenai hal ini dan tak sedikit pula yang menilai bahwa pekerjaannya sebagai dosen merupan sebuah batu loncatan untuk jabatan yang lebih tinggi, sehingga akan mengabaikan tugasnya sebagai tenaga pengajar. Akan tetapi kita jangan terjebak pada stigma yang berkembang tersebut kita juaga tidak dapat menilai sebelah mata akan hal ini, karena apa yang beliau laksanakan adalah tugas serta amanah dari bangsa ini guna membangun bangsa yang progresif melalui keilmuan yang beliau miliki, akan tetapi harapan kita adalah beliau-beliau tersebut dapat mengemban amanah serta menjaga nama baik almamater kita serta tetap memiliki loyalitas yang tinggi kepada mahasiswa.
Keempat, terkadang setiap dosen memang memilki suatu metode mengajar yang berbeda-beda, hal tersebut tentu lumrah terjadi dikarenakan setiap orang memiliki karakter yang berbeda, akan tetapi persoalan muncul kemudian ketika terjadi ketidaksesuaian dosen dalam mentransformasikan keilmuannya kepada mahasiswa dengan silabus-silabus perkuliahan yang telah menjadi ketentuan dari fakultas. Ada sebagian dari dosen kita yang ”seenaknya” mengajar tanpa memperhatikan silabus tersebut sehingga proses perkuliahanpun kurang maksimal. Bahkan parahnya lagi, apa yang diajarkan bukan lagi ilmu ilmiah tapi sudah menjurus pada cerita. Sehingga dari awal sampai akhir kelas hanya diisi dengan dongeng.
Point-point diatas adalah sebagian dari beberapa permasalahan yang mungkin kurang mendapat perhatikan dan akan tetap menjadi sebuah permasalahan apabila tidak cepat kita sikapi. Beberapa permasalahan tersebut akan berdampak secara jelas kepada kepentingan mahasiswa secara akademis. Apabila permasalahan diatas dapat teratasi bukan tidak mungkin almamater kita akan menetaskan kembali kader-kader intelektual yang progressif seperti masa ”kejayaan” FH UII dulu. Jika tidak, saya khawatir nama besar FH UII hanya akan menjadi kenangan dan catatan sejarah.
Sekian, muda-mudahan hal ini akan menjadi perhatian bagi pengambil kebijakan di fakultas hukum ini untuk terus membenahi kekurangan yang ada.
*Penulis adalah Ketua Komisi Eksternal DPM FHUII periode 2006-2008
Di Fakultas Hukum UII ini sendiri telah menetaskan beberapa tokoh yang dapat kita katakan memiliki peranan penting dalam menjaga tatanan keseimbangan serta memiliki sumbangsih dalam pelaksanaan pembangunan kemajuan di Indonesia. Kita memang dapat sedikit bangga akan hal tersebut. Akan tetapi sangat ironis sekali jika kita kemudian berkaca dan melihat kedalam tubuh kita sendiri, ketika ternyata terdapat beberapa permasalahan didalam tubuh kita sendiri. Disatu sisi kita almamater kita memang memiliki beberapa posisi penting dalam penjalanan pelaksanaan pembangunan negara, akan tetapi disisi lain kita memiliki persoalan yang serius diinternal kita khususnya pada tenaga pengajar. Seperti kita bicarakan diatas, salah satu faktor yang dapat mendorong almamater mencetak kader-kader bangsa yang progressif adalah tenaga pengajar.
Beberapa persoalan terkait dengan tenaga pengajar tersebut adalah:
Pertama, minimnya tenaga pengajar pada beberapa mata kuliah tertentu, dimana mata kuliah tersebut merupakan mata kuliah wajib tempuh dan merupakan prasarat mata kuliah lain. Hal ini dapat berdampak pada penumpukan serta meledaknya kuota mata kuliah tersebut. Beberapa mahasiswa yang ”beruntung” dalam key-in memang dapat menempuh mata kuliah tersebut, akan tetapi banyak pula yang harus menunggu semester depan atau bahkan semester depanya lagi sehingga terjadi suatu penumpukan yang terakumulasi. Hal ini tentu saja merugikan mahasiswa, dimana kewajiban serta haknya kurang dapat terakomodir. Harapannya masalah ini dapat teratasi, baik dari segi mekanisme key-innya sendiri maupun dari segi tenaga pengajarnya sendiri dengan munculnya tenaga-tenaga pengajar baru pada beberapa mata kuliah wajib tersebut, sehingga penumpukan kuota dapat teratasi.
Kedua, terdapat beberapa tenaga pengajar yang telah ”uzur” atau ada beberapa tenaga pengajar yang dapat kita katakan sudah tidak layak lagi untuk melakukan kegiatan belajar mengajar. Pada satu sisi memang tenaga pengajar tersebut secara keilmuan memang menguasai mata kuliah yang diampu bahkan dapat dikatakan beliau adalah pakar dari ilmu yang beliau miliki, akan tetapi kita juga tidak dapat menafikan beberapa permasalahan, yang salah satunya adalah permasalahan fisik yang beliau miliki sehingga dari permasalahan tersebut mengakibatkan transformasi ilmu tidak berjalan secara maksimal. Lagi-lagi hal ini dapat merugikan mahasiswa, karena pada dasarnya yang dibutuhkan oleh mahasiswa adalah adanya transformasi dari ilmu tersebut, kita rasa akan terbuang sia-sia ketika seseorang memiliki tingkat keilmuan yang tinggi akan tetapi ia tidak dapat mentrasfer apa yang ia kuasai kepada orang lain, padahal hal tersebut merupakan kewajiban ia sebagai tenaga pengajar. Harapan kita adalah muncul suatu ketegasan sikap dari fakultas sendiri mengenai kelayakan tenaga pengajar ini, dapat diartikan didalamnya diatur pula mengenai batasan-batasan mengenai umur dan batasan kelayakan yang lain. Disamping hal tersebut, diharapkan pula munculnya tenaga-tenaga pengajar yang memiliki kompetensi pada bidangnya dan memiliki metode transformasi yang dapat mudah diserap oleh mahasiswa.
Ketiga, ”hilangnya” beberapa tenga pengajar yang memilki kompetensi tinggi pada bidangnya dikarenakan tugas atau jabatan diluar akademis. Hal ini sebenarnya sangat vital, karena setiap tenaga pengajar yang memiliki jabatan diluar posisinya sebagai tenaga pengajar, akan dibenturkan pada beberapa tanggung jawab yang ia miliki. Berangkat dari hal tersebut, maka munculah stigma negatif yang berkembang mengenai hal ini dan tak sedikit pula yang menilai bahwa pekerjaannya sebagai dosen merupan sebuah batu loncatan untuk jabatan yang lebih tinggi, sehingga akan mengabaikan tugasnya sebagai tenaga pengajar. Akan tetapi kita jangan terjebak pada stigma yang berkembang tersebut kita juaga tidak dapat menilai sebelah mata akan hal ini, karena apa yang beliau laksanakan adalah tugas serta amanah dari bangsa ini guna membangun bangsa yang progresif melalui keilmuan yang beliau miliki, akan tetapi harapan kita adalah beliau-beliau tersebut dapat mengemban amanah serta menjaga nama baik almamater kita serta tetap memiliki loyalitas yang tinggi kepada mahasiswa.
Keempat, terkadang setiap dosen memang memilki suatu metode mengajar yang berbeda-beda, hal tersebut tentu lumrah terjadi dikarenakan setiap orang memiliki karakter yang berbeda, akan tetapi persoalan muncul kemudian ketika terjadi ketidaksesuaian dosen dalam mentransformasikan keilmuannya kepada mahasiswa dengan silabus-silabus perkuliahan yang telah menjadi ketentuan dari fakultas. Ada sebagian dari dosen kita yang ”seenaknya” mengajar tanpa memperhatikan silabus tersebut sehingga proses perkuliahanpun kurang maksimal. Bahkan parahnya lagi, apa yang diajarkan bukan lagi ilmu ilmiah tapi sudah menjurus pada cerita. Sehingga dari awal sampai akhir kelas hanya diisi dengan dongeng.
Point-point diatas adalah sebagian dari beberapa permasalahan yang mungkin kurang mendapat perhatikan dan akan tetap menjadi sebuah permasalahan apabila tidak cepat kita sikapi. Beberapa permasalahan tersebut akan berdampak secara jelas kepada kepentingan mahasiswa secara akademis. Apabila permasalahan diatas dapat teratasi bukan tidak mungkin almamater kita akan menetaskan kembali kader-kader intelektual yang progressif seperti masa ”kejayaan” FH UII dulu. Jika tidak, saya khawatir nama besar FH UII hanya akan menjadi kenangan dan catatan sejarah.
Sekian, muda-mudahan hal ini akan menjadi perhatian bagi pengambil kebijakan di fakultas hukum ini untuk terus membenahi kekurangan yang ada.
*Penulis adalah Ketua Komisi Eksternal DPM FHUII periode 2006-2008
0 komentar: